Sabtu, 31 Januari 2015

BAB IV Waristannya Wala’

بَابُ مِيْرَاثِ الْوَلَاءِ
Wala’ adalah: Budak yang merdeka, sebab dimerdekakan.
.
حَدَّثَنَا أَبُو الْيَمَانِ أَخْبَرَنَا شُعَيْبٌ عَنِ الزُّهْرِيِّ قَالَ عُرْوَةُ بْنُ الزُّبَيْرٍ قَالَتْ عَائِشَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا دَخَلَ عَلَيَّ رَسُوْلُ اللهِ  فَذَكَرْتُ لَهُ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ  اشْتَرِي وَأَعْتِقِي فَإِنَّمَا الْوَلَاءُ لِمَنْ أَعْتَقَ، ثُمَّ قَامَ النَّبِيُّ  مِنَ الْعَشِيِّ، فَأَثْنَى عَلَى اللهِ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ، ثُمَّ قَالَ: مَا بَالُ أُنَاسٍ يَشْتَرِطُوْنَ شُرُوْطًا لَيْسَ فِيْ كِتَابِ اللهِ، مَنِ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللهِ فَهُوَ بَاطِلٌ وَإِنِ الشْتَرَطَ مِائَةَ شَرْطٍ شَرْطُ اللهِ أَحَقُّ وَأَوْثَقُ. رواه البخاري فى كتاب البيوع
Artinya: ‘Aisyah berkata: Nabi datang kepadaku, lalu Aku menceritakan sesuatu kepada Nabi (1). Lalu Nabi SAW Bersabda: “Wahai ‘Aisyah... Beli dan Merdekakanlah pada budak tersebut. Sesunggguhnya waristannya Wala’ untuk orang yang memerdekakan”. Kemudian Nabi SAW berdiri, untuk Nashihat diwaktu Sore. Lantas Nabi Bersabda kepada Para Shahabat: “Mengapa Kebanyakan Manusia, membuat syarat tampa dasar dalil Al-Qu’an. Ketahuilah Syarat apapun yang tidak sesuai dalil Al-Qur’an maka hukumnya Batal (Tidak Shah). Meskipun Manusia membuat 100 Syarat, tentang suatu Hukum, tetap Syaratnya Allahlah yang lebih benar dan lebih quat”. HR Bukhari fi Kitabil Buyu’
(1)Ada seorang Budak bernama bariroh yang ingin merdeka dengan cara mencicil, kemudian majikannya menentukan harga dari kemerdekaan budak tersebut. Harga budak tersebut adalah 9 ‘Auq (1 ‘Auq = 4 Dinar). Harga tersebut dapat Ia cicil selama 9 Tahun. Lalu ‘Aisyah ingin membeli budak Barirah tersebut, kemudian lansung dimerdekakan. Namun sebelum si Majikan menjual Barirah kepada ‘Aisyah, Dia memberi sebuah Syarat yang isinya: Jika Bariroh meninggal, maka Waristan Wala’nya untuk Saya Majikan.
Hikmahnya:
1.      Seorang Wala’ yang mati tampa meninggalkan Ahli Warist, maka Waristannya untuk Orang yang memerdekakan. Walaupun yang memerdekakan adalah seorang Perempuan (Mu’thiqah), dan walaupun tidak memiliki hubungan Nashab (contoh antara ‘Aisyah dan Barirah, yang tidak memiliki hubungan Nasab).
2.      Ada 3 sebab seseorang bisa mendapatkan waristan (Ashbabul Irsti), Pertama: Karena memerdekakan (Mu’thiq/ Mu’thiqah), Kedua: Karena pernikahan (Zauj/ Zaujah), Ketiga: Karena Nasab (Ashlul Warist/ Far’ul Warist/ Saudara).
حَدَّثَنَا أَبُوْ بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَعَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَا حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ الْأَصْبَهَانِيِّ عَنْ مُجَاهِدِ بْنِ وَرْدَانِ عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الزُّبَيْرِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ مَوْلًى لِلنَّبِيِّ  وَقَعَ مِنْ نَخْلَةٍ فَمَاتَ وَتَرَكَ مَالًا وَلَمْ يَتْرُكْ وَلَدًا وَلَا حَمِيمًا فَقَالَ النَّبِيُّ  أَعْطُوْا مِيْرَاثَهُ رَجُلًا مِنْ أَهْلِ قَرْيَتِهِ. رواه ابن ماجة فى كتاب الفرائض
Artinya: Suatu ketika, Bekas Budaknya Nabi SAW (budak yang telah dimerdekakan Nabi) jatuh dari kendaraan, kemudian mati meninggal harta, namun tidak memiliki anak dan famili (tidak ada ahli warist). Lalu Nabi memerintahkan untuk membagi harta Wala’ tersebut kepada Orang-orang yang sekampung dengan Bekas Budak tersebut. HR. Bukhari fi Kitabil Faroidh
Dalam Hadist pertama yang di Riwayatkan oleh Urwah Bin Zubair, dijelaskan bahwa: Harta Wala’ Maulan/ Bekas Budak, jika tidak ada Ahli Warist maka untuk yang memerdekakan.
Pada Hadist diatas, walaupun yang memerdekakan Nabi, namun Nabi tidak mengambil harta wala’ tersebut, karena Para Nabi Tidak di warist atau mewarist Dinar & Dirham.
...وَإِنّ الْأَنْبِيَاءِ لَمْ يُوَرِّثُ دِيْنَارًا وَلَا دِرْهَمًا... رواه أبو داود صحيح  Sesungguhnya Para Nabi tidak mewariskan dinar dan dirham
Hikmahnya: Jika Maulan meninggal tampa Ahli Warist, maka harta wala’nya untuk Mu’tiqo/ Orang Memerdekakannya. Kecuali yang memerdekakan Nabi, maka harta wala’nya Bukan untuk Mu’tiqo (bukan untuk Nabi).
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا حُسَيْنُ بْنُ عَلِيٍّ عَنْ زَائِدَةَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمٰنِ بْنِ أَبِي لَيْلَى عَنِ الْحَكَمِ عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ شَدَّادٍ عَنْ بِنْتِ حَمْزَةَ، {قَالَ مُحَمَّدٌ يَعْنِى ابْنَ أَبِى لَيْلَى: وَهِيَ أُخْتُ ابْنِ شَدَّادٍ لِأُمِّهِ} قَالَتْ مَاتَ مَوْلَايَ وَتَرَكَ ابْنَةً فَقَسَمَ رَسُوْلُ اللهِ  مَالَهُ بَيْنِي وَبَيْنَ ابْنَتِهِ فَجَعَلَ لِيَ النِّصْفَ وَلَهَا النِّصْفَ. رواه ابن ماجة فى كتاب الفرائض
Artinya: Binti Hamzah bercerita: Bekas Budak yang telah ia merdekakan mati, meninggalkan 1 Anak Perempuan sebagai Ahli Warist tunggal. Maka Nabi membagi Harta Peninggalannya Maulan menjadi dua, sebagian untuk saya, sebagiannya lagi untuk 1 anak perempuannya.
Sebagai penjelasan: 1/2 bagian untuk 1 anak perempuan, merupakan ketentuan Allah dalam Al-Qur’an (Wa in kanat wahidatan, falaha Nisfu = Jika seseorang hanya mempunyai satu anak perempuan, maka bagiannya setengah). 1/2 bagian untuk Binti Hamzah merupakan haqnya sebagai Mu’tiqotun (Orang yang memerdekakan).
Dari semua hadist pada kiriman ini, dapat disimpulkan 3 Syarat Warist (Syurutul Irsti)
1.      Jelas Kematiannya Seseorang,
2.      Jelas Hidupnya Ahli Warist, &
3.      Memiliki Ilmu Membagi Waristan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar